Rabu, 22 Juni 2011

Wisata Budaya Jogja sebagai Titik Balik Perekonomian Masyarakat



 

Pariwisata Yogyakarta saat ini menyumbang 30 % PAD berupa Pajak Hotel dan restaurant tentunya keberadaan pariwisata sebagai lokomotif ekonomi harus terus dijaga dan dikembangkan secara berkelanjutan. Hal ini dibahas dalam dialog yang menampilkan materi dari ka Dinas Pariwisata Yulia Rustiyaningih, Ka. Badan Lingkungan Hidup Ir. Suyana dan Kepala Bidang Tata Perkotaan dan Penerangan Jalan Umum dari Dinas Kimpraswil Ir. Aries Prastiani dan sebagai moderator dialog adalah Bp. Sigit dari kampung wisata Dipowinatan.

Dalam dialog tersebut diungkapkan berbagai upaya pemerintah kota yogyakarta untuk mendukung citra kota yogyakarta sebagai kota pariwisata. Upaya-upaya tersebut antara lain dalam bentuk penciptaan ikon wisata baru seperti pengambangan berbagai kampung wisata, pembenahan sarana dan prasarana serta ikon publik seperti renovasi area tugu Yogyakarta, serta upaya menjaga kebersihan serta keindahan kota dalam bentuk tamanisasi serta penanaman pohon di berbagai lokasi di kota yogyakarta. Dalam kesempatan ini berbagai komunitas masyarakat pariwisata diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat serta usulan terkait ketegasan ketiga instansi pemerintah kota tersebut dalam upaya mendukung kegiatan kepariwisataan di kota Yogyakarta.

Salah satu isu yang mengemuka pada saat itu antara lain permohonan dari komunitas code agar pinggiran kali code ditanami pohon untuk menambah kesejukan dan keasrian pemandangan sungai sekaligus sebagai penguat bantaran sungai. Dilain pihak ada keinginan agar kawasan koteagede sebagai kawasan heritage terus dipercantik agar kembali menghidupkan suasana tempo dulu yang semakin menarik wisatawan.

Sejarah Perkembangan Malioboro




Ke Yogya, belum afdol kalau belum mampir ke Malioboro. Ya, jalan yang berada persis di garis imajiner yang menghubungkan Kraton Jogja, Tugu, Monumen Jogja Kembali dan puncak Gunung Merapi, memang menjadi kawasan legendaris dan menyimpan sejuta kenangan.

Jalan Malioboro telah membentuk sebuah kawasan tempat berkumpulnya berbagai komunitas. Dari sekian banyak komunitas yang ada, hanya komunitas pedagang yang terus eksis hingga kini. Komunitas-komunitas yang lain, yang dulu memanfaatkan kawasan ini, seperti komunitas budayawan dan seniman akhirnya hanya kebagian ruang sempit, tergusur aktivitas perdagangan yang semakin lama semakin menguasai ruang di Malioboro.

Jalan tersebut dibangun sejak Raja Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono I, dilengkapi sarana perdagangan berupa pasar tradisional semenjak tahun 1758. Pasar yang dulunya berupa kawasan yang banyak tumbuh pohon beringin akhirnya diberi nama Pasar Beringharjo. Kawasan perdagangan tersebut terus berkembang dan setelah berlalu 248 tahun, akitvitas perdagangan meluas hingga menguasai seluruh kawasan Malioboro.


Malioboro tidak ada hubungannya sama sekali dengan rokok mallbor. Malioboro diambil dari bahasa sansekerta yang berarti karangan bunga. Dulu, jalan yang perisis membujur ke arah pintu gerbang Keraton Ngayogyakarta selalu dipenuhi karangan bunga jika Keraton menggelar perhelatan. Karena itu jalan tersebut diberi nama Malioboro (karangan bunga).

Malioboro menjadi saksi bisu beragam peristiwa penting yang akhirnya banyak mewarnai perjalanan panjang bangsa Indonesia. Hengkangnya tentara kerjaan Belanda dari Bumi Pertiwi secara simbolik dilakukan di Jalan Malioboro dan ada prasastinya yang dapat dilihat sampai sekarang. Di kanan kiri Jalan Malioboro terdapat banyak bangunan bersejarah, diantaranya Benteng Vredeburg dan Gedung Agung. Pernah menjadi tempat bersarang komunitas seniman dan budayawan besar.



Malioboro memang eksotik. Keeksotikan tersebut tetap berpendar hingga saat ini. Ikon Kota Yogyakarta. Perburuan cinderamata sambil berjalan kaki di bahu jalan tempat mangkalnya ratusan pedagang kaki lima menghadirkan suasana nan romantis. Semua ada disini, mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain. menyediakan aneka macam cinderamata khas

Bila sudah cukup puas menyusuri Malioboro, lesehan Malioboro yang mulai buka menjelang petang dapat dimanfaatkan melepas lelah sambil menikmati makanan khas Jogja Gudeg. Bagi yang ingin memanjakan mulut dengan menu lain, juga ada burung dara goreng/bakar, pecel lele, sea food, masakan Padang dan aneka makan khas lainnya. Sambil menikmati makanan, pengamen jalanan akan menghibur dengan lagu-lagu hits atau tembang kenangan.


 
 
Sumber: http://www.pesonajogja.com

Kampung Wisata Dipowinatan


Kampung Wisata DipowinatanKampung wisata Dipowinatan memang tergolong baru bagi anda sekalian namun perlu diketahui bahwa kampung wisata ini telah di proklamirkan sejak 4 November 2006 lalu. Sepintas kilas jika anda tidak memperhatikan dengan seksama kampung Dipowinatan tampak sama seperti halnya kampug yang lain yang ada diperkotaan. Namin jika anda masuk kampung Dipowinatan anggapan tersebut akan dapat anda tepis. Selain lingkungan yang tertata rapi dan juga bersih juga kehidupan sosiokultur masyarakat yang tetap menjaga tradisi menjadi daya tari tersendiri.
Konsep yang ditawarkan ialah Blusukan dan bertamu disebuah keluarga Jawa. Dimana wisatawan dalam bertamu harus menggunakan pakaian jawa dan juga wisatawan akan dijamu dengan kuliner khas Jawa. Selain itu juga wisatawan disjikan wisata pengalaman batin yang dikemas dalam reality life,dimana wisatawan diajak menyelami sekaligus menikmati rutinitas kehidupan sehari-hari masyarakat setempat seperti jika ada warga yang menggelar pernikahan wisatawan diajak jagong dengan cara Jawa dan juga memberikan sumbangan, bahkan juga wisatawan ikut rewang. Selain itu juga ada paket Enjoy the Culture yaitu paket menikmati suasana dalam menikmati sebuah pentas kesenian dan berbagai atraksi yang penuh dengan nilai-nilai tradisi.